pak SA on January 28th, 2013

Tes yang mengukur potensi akademik dirancang untuk mengungkap kemampuan individu dalam menghadapi problem kognitif yang perlu diselesaikan dengan strategis dan cepat. PAPs, sebagaimana umumnya tes potensi, terdiri dari 3 subtes yang masing-masing mengukur abilitas Verbal, Kuantitatif, dan Penalaran (Azwar, 2008). Ketiga subtes tersebut diasumsikan bersifat unidimensional dan membentuk struktur potensi yang diukur. Persoalannya adalah pada dimensi atribut laten yang mendasari kemampuan peserta yang menjawab, apakah juga bersifat unidimensional atau multidimensional. Isu dimensi dalam tes ini penting untuk diteliti karena hal tersebut mempengaruhi penskoran, analisis data dan laporan hasilnya (Abedi, 1997; Kahraman & Thompson, 2011).  Selanjutnya silakan klik

Dalam pengembangan tes sebagai instrumen pengukuran untuk riset psikologi dan pendidikan, seleksi aitem berdasarkan statistik daya diskriminasi aitem merupakan salah satu tehnik guna meningkatkan reliabilitas skor tes (Azwar, 1997). Hal tersebut adalah penting teruama dalam pendekatan teori skor-murni klasik (Allen & Yen, 1979; Crocker, & Algina, 1986). Salah-satu statistik daya diskriminasi aitem adalah koefisien korelasi antara skor aitem dan skor total tes yang dikenal dengan nama korelasi aitem-total (riX) dan koefisien r-point biserial (rpbis).

Sudah diketahui bahwa estimasi terhadap perubahan reliabilitas yang disebabkan oleh perubahan panjang tes dapat dilakukan dengan komputasi formula Spearman-Brown prophecy (Thompson, 2003) atau formula  stepped-up reliability (Allen & Yen, 1979), yaitu:

selengkapnya dapat diunduh di sini.

Tags: , ,

pak SA on May 21st, 2010

Mudah dimengerti bahwa berkaitan dengan hasil tes seleksi masuk perguruan tinggi, maka konsekuensi dari kesalahan dalam pengambilan keputusan yang diakibatkan oleh informasi dari skor tes yang tidak akurat akan dapat membawa akibat sosial yang buruk bagi yang bersangkutan, ancaman terhadap harga diri (self-esteem), bahkan juga kehilangan masa depan. Inilah yang disebut oleh para ahli sebagai ‘high stake’ exams yang hasil ukurnya menjadi landasan pengambilan keputusan yang dapat mengubah kehidupan. Karena itulah, evaluasi terhadap kualitas tes yang digunakan dalam berbagai tes seleksi masuk perguruan tinggi mestinya tidak lagi hanya terbatas pada analisis aitem serta estimasi validitas prediktif saja melainkan sudah harus dipertajam pada aspek penggunaan skor dalam pengambilan keputusan seleksi yang didasari oleh interpretasi skor yang fair.

Silakan klik, untuk membaca keseluruhannya.

pak SA on April 23rd, 2010

Secara tradisional, tes psikologi dikelompokkan menjadi dua macam menurut tujuan ukurnya. Pertama adalah tes yang mengukur aspek kemampuan atau abilitas kognitif yang dalam istilah Cronbach disebut performansi maksimal, dan yang ke dua adalah tes yang mengukur aspek bukan kemampuan yang dalam istilah Cronbach disebut sebagai performansi tipikal (Cronbach, 1970).

Tes potensi merupakan salah-satu bentuk pengukuran terhadap kemampuan abilitas kognitif potensial umum (pengukuran performansi maksimal) yang dirancang khusus guna memprediksi peluang keberhasilan belajar di perguruan tinggi, karena itulah tes seperti ini biasanya dinamai Tes Potensi Akademik. Gagasan dasar dalam konstruksi Tes Potensi Akademik sedikit-banyak mengikuti konsep pengembangan graduate record examinations (GRE) yang terdiri atas seksi Verbal Reasoning (V), Quantitative Reasoning (Q), dan Analytical Writing (AW) (GRE-bulletin, 2008), dengan beberapa perubahan. Pada umumnya, Tes Potensi Akademik di Indonesia terdiri atas tiga subtes yaitu subtes Verbal, subtes Kuantitatif, dan subtes Penalaran.

Selengkapnya silakan unduh di sini.

National College Admission Tests (Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri – UMPTN) was first administered to select candidates for five most prominent universities in Indonesia more than fifteen years ago. The system was then improved and has been widely used with the inclusion of more than 10 participating universities across the country.

High school graduates from different areas of the country are eligible to register for the exams. With the advancement of the administration system and the communication network, graduates have access to register and can take the exams in their high school region without having to go to the city where the intended university is located.

That had been good so far until several years ago when apparent differences in performance on UMPTN among high school graduates from different geographical areas were for the first time noticed.

For full text, kindly click here.

pak SA on April 23rd, 2010

Beberapa waktu yang lalu, salah seorang partisipan dalam mailgroup dosen Fakultas Psikologi UGM  memunculkan kembali pertanyaan klasik yang jawabannya sebenarnya dapat ditemukan dalam buku-buku teks standar. Pertanyaan termaksud menyangkut cara yang semestinya dalam menuliskan pernyataan signifikansi hasil uji statistik.

Dalam sebagian besar skripsi dan (sayangnya) tesis S2 di Fakultas-fakultas Psikologi di Indonesia, kita jumpai bermacam-macam cara pemberian label terhadap angka hasil uji statistik seperti ‘signifikan’, ‘sangat signifikan’, ‘signifikan sekali’, dan lain-lain. Rupanya hal itu menimbulkan kebingungan bagi sebagian peneliti dan bagi sebagian pembaca.

Selengkapnya dapat diunduh di sini

pak SA on April 23rd, 2010

Berbeda dari statistika nonparametrik yang disebut dengan distribution-free statistics  atau disebut juga statistika sampel kecil, statistika parametrik diderivasi dari model distribusi normal atau distribusi-distribusi skor populasi tertentu. Di samping itu, rumusan tehnik-tehnik komputasi guna pengambilan kesimpulan (inferensi) lewat uji statistika parametrik didasarkan pada model distribusi yang diketahui, sehingga penggunaannya pun dilandasi oleh berlakunya asumsi bahwa ada kesesuaian antara data sampel dengan model distribusi yang bersangkutan (data-model fit).

Kekhawatiran bahwa data sampel tidak terdistribusi mengikuti model data populasi yang diasumsikan atau tidak memenuhi kondisi yang disyaratkan bagi penggunaan tehnik komputasi tertentu menyebabkan banyak para peneliti sosial pemakai statistika melakukan lebih dahulu pengujian asumsi sebelum melakukan uji hipotesis. Pada hampir semua skripsi S1, thesis S2, dan bahkan disertasi S3 psikologi dapat kita temui laporan hasil berbagai uji asumsi yang dilakukan sebelum pengujian hipotesisnya sehingga terdapat kesan kuat sekali bahwa uji asumsi merupakan prasyarat dan bagian yang tak terpisahkan yang mendahului analisis data penelitian. Kepanikan terjadi apabila hasil uji asumsi ternyata tidak sesuai dengan harapan.

Selengkapnya dapat diunduh di sini.

Tags: , ,

pak SA on April 15th, 2010

Dalam dunia pendidikan, masalah motivasi selalu menjadi hal yang menarik perhatian. Hal ini dikarenakan motivasi dipandang sebagai salah satu faktor yang sangat dominan dalam ikut menentukan tercapai atau tidaknya tujuan pendidikan.

Walaupun diakui bahwa kemampuan intelektual yang bersifat umum (inteligensi) dan kemampuan yang bersifat khusus (bakat) merupakan modal dasar utama dalam usaha mencapai prestasi pendidikan, namun keduanya tidak akan banyak berarti apabila siswa sebagai individu tidak memiliki motivasi untuk berprestasi sebaik-baiknya. Kemampuan intelektual yang tinggi hanya akan terbuang sia-sia apabila individu yang memilikinya tidak mempunyai keinginan untuk berbuat dan memanfaatkan keunggulannya itu. Apalagi bila individu yang bersangkutan memang memiliki kemampuan yang tidak begitu menggembirakan, maka . . .

lebih lanjut silakan klik

pak SA on December 29th, 2009

Salah satu fungsi skor tes adalah untuk menggolongkan kemampuan atau kecakapan subjek dalam belajar. Tanpa didasari oleh suatu acuan yang jelas, skor akan sangat mudah disalahartikan. Dua skor yang sama -yang diperoleh oleh seorang subjek pada dua mata pelajaran- belum tentu sebanding dan belum tentu layak untuk dibandingkan (comparable) satu sama lain. Begitu juga skor yang sama antara dua orang subjek pada dua mata pelajaran yang berbeda. Skor mentah (raw scores) yang diperoleh oleh subjek belumlah mempunyai arti apabila belum diolah sedemikian rupa sehingga memberikan deskripsi yang komparabel baik intraindividual maupun interindividual.

Dalam pengukuran prestasi belajar sebagai suatu proses pengukuran pendidikan secara makro, untuk dapat digunakan sebagai dasar pengambilan keputusan pendidikan, skor harus dikonversikan ke dalam bentuk nilai (grade).

selengkapnya, dapat diunduh di sini.